Kekejaman
Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan
Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak,
1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974),
kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua
penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek
moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di
daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos
kepahlawanan
Munculnya
koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme
terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya
sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana
historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang
berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung
pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya
tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata
bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap
generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru
bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa
pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak
buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok
pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin,
Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan
bangsa Indonesia.
Jeffrey
Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies,
2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama,
menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana
historis pemersatu bangsa.
Kedua,
mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa
yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga,
“merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat
stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita
tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan
tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai
pahlawan nasional.
Kita
juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa
kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang
beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda
karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan
untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat
kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional
karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia
sempurna
Tak
dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan
Mandailing atau Batak umumnya.
Campur
tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang
itu karena “diundang” kaum Adat.
Pada
21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau)
kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang”
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang
selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di
Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut
Parlindungan, 2007:136-41).
Namun,
sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama
melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh
Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting
tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat,
bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak
yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan
muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau sendiri.
Dalam
MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama
orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari
ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita.
Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi
oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan
dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung
Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg
en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang
Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004):
59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan
dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Kini
bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau
diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi
terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh
Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië
en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda).
Semoga
bermnfaat..!!!! Amiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar